19 Mei 2009

Tomein Mahhi Timi dan Mehak (Noken Rokok dan Kopi)

Tomein Mahhi Timi dan Mehak (Noken Rokok dan Kopi)


  • Tomein Mahhi Timi

Tomein Mahhi Timi adalah salah satu hasil karya dari kaum hawa yang berasal dari Kota Fakfak, yang jika dilihat dengan kacamata orang awam, mungkin benda ini bukan sesuatu yang sangat berarti, karena benda ini sudah biasa atau membudaya dimata mereka (Massa Rakyat Fakfak) sehingga tidak antik dan asing lagi. Namun jika kita melihat secara seksama dari kacamata orang yang berpendidikan atau istilahnya kaum intelektual, maka perlu kita telusuri secara detail bahwa; benda ini dibuat dari bahan apa? dan bagaimana mereka mendapatkan bahannya? dan bagaimana pula mereka (kaum hawa) ini membuatnya? menjadi lambang bagi keperkasaan seorang laki-laki asal Fakfak itu sendiri.

Disini pasti ada yang bertanya, apa yang membuat Tomein ini antik…? Padahal bahannya adalah hanya daun dan tali… Ia benar, tapi apakah anda mengetahui cara pengambilan dan proses pembuatannya?


Tomein Mahhi Timi ini ada dua jenis:

  1. Besar

Tomein yang ini didesain khusus agar dapat di pakaikan tali sehingga orang yang menggunakannya dapat menggantungkannya seperti tas, Tomein ini dibuat dengan daun yang agak besar dan di anyam secara telaten oleh tangan-tangan yang terampil untuk membuatnya.

Fungsinya:

Tomein ini akan digunakan sebagai wadah untuk mengisi perlengkapan atau bahan-bahan untuk merokok, seperti Tiumbiyom mahhi timi atau istilah fakfaknya Lopa-lopa, pandoki (daun Nipah) yang biasanya digunakan untuk melinting rokok (tembakau) yang telah dirajang oleh kaum perempuan Fakfak.

  1. Kecil

Tomein ini biasanya dinamakan Tiumbiyom atau istilah Fakfaknya Lopa-lopa, uniknya lagi Tomein atau Tiumbiyom ini adalah Tiumbiyom tidak bertali dan berukuran kecil dan mempunyai tutupan yang berfungsi sebagai penutup agar tembakau yang ada didalamnya dapat awet alias tidak dapat menguap.

Didaerah kami tembakau yang digunakan sebagai bahan rokok oleh kaum pria Fakfak itu dirajang secara sederhana dengan menggunakan sebilah pisau, sebilah papan kayu, dan sebuah anyaman bambu (meit) sebagai alat rajangan serta tempat untuk mengeringkan tembakau hasil rajangannya.


Tomein-Tomein ini biasanya digunakan oleh lelaki yang suka merokok, Tomein Mahi Timi ini juga biasanya dipakai sebagai simbol adat dan pernak-pernik keseharian laki-laki Fakfak. Disisi lain Tomein ini menunjukan bahwa pria yang menggunakan Tomein ini adalah pria yang secara adat sudah siap untuk berumah tangga (kawin), juga Tomein ni biasanya digunakan oleh tetua adat setempat dalam upacara atau ritual-ritual budaya di Kabupaten Fakfak; seperti, Penyambutan Tamu dari luar (Adat maupun Pemerintah), Acara Pernikahan, mulai dari Minang sampai ke Jenjang Pernikahan, Pendirian Rumah Baru, Pembukaan Lahan atau Kebun Baru, dan acara-acara adat yang lain.

Namun hingga saat ini massa rakyat di Kabupaten Fakfak sudah jarang menggunakannya lagi, walaupun demikian budaya tentang Tomein Mahhi Timi, dan acara-acara adatnya masih tetap ada dan dilestarikan secara turun-temurun. Untuk Tomein Mahhi Timi ini, yang masih menggunakannya adalah kaum bapak di daerahku.


Bahan dan cara penbuatan Tomein Mahi Timi:

Tomein Mahhi Timi ini di buat dari daun pandan hutan yang biasanya tumbuh dipegunungan dan ukuran daunnya tidak lebar dan juga tidak kecil (sedang). Lebar dari daun ini adalah selebar dua jari orang dewasa.Daun-daun ini akan dipanaskan (di rau; istilah Fakfak) menggunakan api yang menyala, dibelah sesuai ukuran yang diinginkan, kemudian di jemur pada panas matahari agar kering dan kelihatan putih kekuning-kuningan, kemudian akan dibelah lagi sehingga daunya yang diperlukan agak kecil, dan juga agar tampilan dari tomein itu sendiri kelihatan bagus. Nah seperti yang saya katakan tadi bahwa Tomein ini mempunyai penyangga atai tempat untuk mengikat tali biar Tomeinnya dapat di pikul seperti tas… Tali dari Tomein ini di buat dengan kulit kayu kayu gabah, namanya Ndereik, kayu ini akan dikupas kulitnya dan diambil raminya sebagai bahan untuk menjadikan tali di Tomein yang saya maksud… namun untuk menjadikannya sebagai tali juga memerlukan proses yaitu; pengambilan kayunya, kupas, ambil kulit dalamnya (raminya), dikikis kambiumnya dan di jemur hingga benar-benar kering, karena jika belum kering secara benar, maka talinya akan rapuh atau tidak tahan lama.


Nantinya setelah dikeringkan, baru proses selanjutnya adalah dianyam agar menjadi penyangga yang kuat.


Dengan melewati proses yang begitu panjang untuk menjadikan sebuah Tomein inilah, sehingga membuat saya mengatakan Tomein ini; unik dan antik.

  • Mehak

Mehak adalah minuman yang digemarti oleh sebagian besar massa rakyat Fakfak, walaupun secara kacamata kesehatan dibilang minuman ini mengandung zat adiktif kafein yang dapat membuat orang sulit tidur, namun bagi massa rakyat Fakfak itu belum tentu, karena dikalangan massa rakyat Fakfak sendiri, Mehak adalah minuman yang sudah terlalu akrab dengan kehidupan mereka. Massa rakyat Fakfak menggunakan kopi untuk berkumpul, bekerja dan membahas sesuatu yang mereka anggap penting untuk dilakukan nanti. “TIDAK ADA KOPI (MEHAK) TIDAK ADA HAL YANG SERU UNTUK DIBICARAKAN” . itulah sepenggal kata yang biasanya dilontarkan oleh massa rakyat Fakfak, lebih khususnya diperkampungan.


Mehak yang diminum oleh massa rakyat Fakfak adalah Mehak yang diambil sendiri dari pohon dan dipecah secara tradisional oleh massa rakyat disana, kemudian nanti biji-biji Mehak tersebut tadi di goring menggunakan tempat penggorengan yang sudah disediakan dan ditumbuk lalu suguhkan bagi tamu yang dating. Cara penyuguhan Mehak inipun berbeda, kalau Mehak yang ada di bungkus, biasanya langsung di seduh dengan air panas, tetapi kalau Mehak nya Fakfak, harus direbus biar enak rasanya.


Dalam pergaulan muda-mudi anak Fakfak pun Mehak sudah sebagai bahan yang tidak asing lagi….

Masih banyak lagi tentang Mehak di mata massa rakyat Fakfak, namun saya tidak dapat memaparkan secara detail.

Pesan saya:

“Jika anda ingin tahu tentang Mehak (kopi) dan massa rakyat Fakfak, maka silahkan datang saja ke tempatnya dan bertanyalah panjang lebar kepada orang tua yang berada dikampung”

Jika disimak dari sepenggal cerita pendek diatas, ini menandakan bagaimana kehidupan orang papua (Fakfak) yang kental dengan budaya sosialisme mereka yang tinggi. Dan hal ini juga yang mempengaruhi sedikit banyak dari segala aktivitas kehidupan mereka sebagai massa rakyat yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya luhur yang diberikan oleh nenek moyang mereka secara turun-temurun.


Kemarin adalah sejarah, hari ini adalah kenyataan dan besok adalah misteri, sehingga tak ada salahnya kita mencobanya hari ini untuk menentukan hari esok yang lebih baik”

17 Mei 2009

Kisah Anak Kampung


Rata PenuhKisah Anak Kampung

Hari yang cerah, sinar matahari yang tepat berada pada ketinggian maksimal, seakan membakar seisi bumi, dengan gontai seorang anak Kampung melangkah menembus teriknya sinar matahari siang itu untuk pulang kerumahnya, maklum rumahnya yang dituju berada agak jauh dari kampung atau lebih tepatnya dibilang (Rumah kebun) dengan sesekali tersembul senyum tipis dibibirnya, seakan-akan dia sedang memikirkan sesuatu yang indah dan tidak menghiraukan sinar matahari yang begitu menyengat kulit tubuhnya. Matahari baru menapaki puncaknya, tepat pukul 12.00 sehingga membuat bayangan dari segala makhluk hidup maupun mati yang ada di bumi seakan tidak ada. Nampak seorang lelaki tua, usianya sekitar 40-an berjalan sambil terbatuk-batuk menghampiri si anak kampung itu. Dilihat dari aura wajahnya yang agak lusuh dibasahi peluh yang berceceran bisa dipikirkan kalau orang tua ini telah berjalan menempuh jarak yang jauh. Dengan melangkah perlahan ia mendekati si anak kampung yang sedang beristirahat sebentar dibawah pohon durian yang rindang daunnya. Tanpa basi-basi sang orang tua itu duduk disamping anak kampung tadi, secara spontan anak kampung itu langsung menyapa sang bapak; Weingweinghengga gpohi…(selamat siang; Bhs; Iha Fakfak) dan di jawab dengan tenang oleh sang bapak, gpohi.. kadin…(baik anak) dengan secara tidak sengaja mereka saling menyapa inilah membuat mereka berdua terlibat dalam suatu percakapan pendek disana:
"Bapak tua" : Kadin ko tobonted nanggak
"Anak Kampung" : Skola naggak, youmbeuh gehibiyen nia…
"Bapak tua" : Mbe ko Toubo wahangge detnan?
"Anak Kampung" : Wiri, Hiriyet wiria geheibiyen…
"Bapak tua" : Mombe kadin koma nei ndondiya…?
"Anak Kampung" : Erick, nia….
Bapak tua" : Oweih…, injo, moda ohin ndatmo kampung weheinten modo… kadin…
"Anak Kampung" : Injo Koutmbuni, moda hahan riya weih….
”Bapak tua" : Injo… kadin

Begitulah sepenggal percakapan pendek yang terjadi disana, selang beberapa menit kemudian si anak kampung pun merasa telah cukup untuk istirahatnya dan dia harus melanjutkan perjalanannya, sebab perjalanan yang harus ia tempuh masih jauh, sebelum dia melangkahkan kakinya kembali dia merasa perutnya mulai keroncongan (lapar), sehingga iapun mulai berdiri dan bergegas untuk melanjutkan perjalanannya untuk pulang ke rumahnya, namun kali ini ia mempercepat langkahnya karena rasa yang ia rasakan semakin menjadi alias parah. Setibanya dirumah ia langsung meletakan buku, membuka pakaian seragamnya dan meletakan semua perlengkapan sekolahnya ditempat yang biasanya dia letakan, dan ia pun melangkah ke arah dapur (maklum rumah dikampung) tidak ada ruang makan dan juga meja makan, ternyata disana dia sudah ditunggu oleh seluruh anggota keluarganya, ayah, ibu dan saudara/i nya; seperti biasanya tamu masuk kerumah harus memberikan salam kepada orang yangberada dalam rumah, "Weingweinghengga gpohi…" Katanya, Gpohi… (disambut balas oleh orang rumah) eih… howoutridebe wei…. Youn mehein…, (kata ibunya) seraya memberikan tempat disamping ayahnya. Mbe koreit neweitob ge.. berdoa dorei.. mbe… dan doa makan hari itu dipimpin oleh ayahnya sebagai seorang kepala keluarga.
Setelah selesai dari makan siang mereka yang disediakan oleh orang tuanya, walaupun hanya sederhana dengan ala kadarnya, ia sangat gembira, karena perutnya yang tadi terasa keroncongan telah terisi. Setelah makan, seperti biasanya ia bersama ayahnya duduk-duduk sambil bercakap-cakap tentang pelajaran yang dia dapat dari gurunya disekolah, tentang pelajaran IPS dan bahasa Indonesia. Namun Ia lebih banyak mencoba untuk banyak bertanya tentang dunia pendidikan diluar pulaunya kepada ayahnya yang nota bene juga adalah seorang guru disekolah yang ia belajar. Walaupun ayahnya juga belum mengetahui secara detail tentang dunia pendidikan di luar pulaunya, namun berbekal banyak baca buku dan mendengar siaran radio tentang pendidikan yang disiarkan oleh Radio Republik Indonesia (RRI) secara langsung dari frekuensi yang ada. Dengan berbekal inilah ayahnya mencoba untuk menerangkan secara gamblang kepada anaknya.
Dari sanalah timbul keinginan si anak kampung ini untuk bagaimana kalau suatu waktu dia pun bisa menikmati pendidikan diluar pulaunya itu, yang konon katanya peendidikannya lebih maju alias lebih memadai fasilitasnya. Yang mana saat itu ia berpikir kalau suatu waktu nanti ia harus sampai dipulau yang katanya namanya adalah JAWA, yang diceritakan oleh ayahnya kepadanya.
Sehingga tiba suatu saat, dimana si anak kampung itu menyelesaikan jenjang pendidikan Sekolah Menenganh Umum (SMU) di kota asalnya. Ia pun mulai berpikir kembali bagaimana jika ia bisa pergi merantau atau sekolah ke tempat yang pernah dibicarakannya dengan ayahnya saat dia masih belajar di jenjang Sekolah Dasar.

Jika disimak dari sepenggal cerita pendek diatas secara seksama, maka kita akan dapatkan suatu hal yang sangat penting yaitu; bagaimana semangat seorang anak papua, yang berada jauh dari keramaian kota, berpikir untuk bisa menikmati pendidikan yang layak dan berusaha untuk menggapai hal itu walaupun kehidupan ekonomi keluarga yang tidak terlalu mendukung cita-citanya.
“Kemarin adalah sejarah, hari ini adalah kenyataan dan besok adalah misteri, sehingga tak ada salahnya kita mencobanya hari ini untuk menentukan hari esok yang lebih baik”
By.Mr.Tigma